Kampung Halaman
![]() |
Pantai Tanjung Aan, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 9 Agustus 2017. Foto oleh Ayu US |
Sampai di tangga terakhir, refleks aku menarik napas dalam-dalam. Ah, ternyata begini perasaan lega kembali ke kampung halaman. Tiba-tiba ponsel yang sedari turun pesawat sudah kunyalakan berdering. Ada satu pesan singkat. Setelah membacanya, aku begegas menuju pintu keluar melakukan instruksi dari si pemberi pesan.
Pesan itu dari Paman Doni. Ia telah menungguku di parkiran Bandara. Seketika rasa semangatku muncul untuk bertemu sanak saudara yang sudah lama tidak berjumpa. Kedua tanganku kini sudah di penuhi barang bawaan dari Jakarta, satu buah koper dan dua buah plastik berisi oleh-oleh. Aku tiba di ujung pintu keluar dan celingak-celinguk mencari Paman Doni. Pandanganku pun tertuju pada lelaki paruh baya memakai kaos berkerah warna hijau dan celana panjang hitam sedang melambaikan tangan ke arahku. Ini, dia, Paman ku! Dari jauh, aku sudah bisa melihat senyum khasnya yang ramah.
"Selamat Datang An" sapanya.
Aku mencium tangannya dan memeluknya. Rupa mukanya telihat tidak berubah. Mungkin hanya sedikit keriput dan uban yang tumbuh menandakan cepatnya waktu berlalu.
"Sehat, Tuaq?"
"Alhamdulillah.. Berembe kabarm?
"Aku solah-solah. Wah, Tuaq, terakhir ketemu rambut masih hitam lebat, sekarang sudah banyak warna putihnya!"
"Hahaha, kamu memang tak berubah, jujur terus"
"Hehe... Oh, ya, Tuaq, pesananku sudah ada kan?"
"Sudah"
Paman Doni memberikan kunci mobil padaku.
"Mawarnya sudah di dalam. Kalau sudah selesai langsung ke rumah. Ada plecing kangkung dan ikan bakar kesukaanmu. Hati-hati dijalan"
"Sehat, Tuaq?"
"Alhamdulillah.. Berembe kabarm?
"Aku solah-solah. Wah, Tuaq, terakhir ketemu rambut masih hitam lebat, sekarang sudah banyak warna putihnya!"
"Hahaha, kamu memang tak berubah, jujur terus"
"Hehe... Oh, ya, Tuaq, pesananku sudah ada kan?"
"Sudah"
Paman Doni memberikan kunci mobil padaku.
"Mawarnya sudah di dalam. Kalau sudah selesai langsung ke rumah. Ada plecing kangkung dan ikan bakar kesukaanmu. Hati-hati dijalan"
Sehari sebelum pulang, aku meminta bantuan Paman Doni untuk dicarikan mobil sewaan dan dua buah buket mawar putih. Setelah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, aku ingin berkeliling kota dahulu sebelum pulang ke rumahku di Praya. Sekalian tes, apakah aku masih ingat jalan atau tidak.
Lombok memang istimewa. Jalanannya masih sangat asri di kelilingi pohon tinggi lebat di kanan dan di kiri. Tidak ada kemacetan yang mengiringi. Begitupula dengan masyarakatnya. Mereka tidak pernah lupa akan adat istiadat, suku dan budaya. Di tengah perjalanan, aku melewati iring-iringan "merari" alias "kawin culik" atau "kawin lari". Ini adalah tradisi asal suku sasak dimana sebelum memutuskan pernikahan, wanita akan diculik pria yang menyukainya atau lari menemui pria yang disukainya. Kampungku nan jelita. Tak hanya pantainya saja yang indah, tapi elok pula kehidupan pribuminya.
Setelah berkeliling sekitar satu jam, aku melajukan mobilku menuju pantai yang sejak turun dari pesawat tadi ingin kudatangi. Kupacu mobilku ke Desa Pengembur, kecamatan Pujut, kabupaten Lombok Tengah. Setelah menempuh sekitar 30 menit waktu perjalanan, akhirnya aku sampai di pantai Tanjung Aan, pantai yang merupakan bagian dari nama panjangku, Tanjung Aan Ramadhani.
Aku langsung mencium aroma segar bercampur bau garam, bahkan saat aku baru turun dari mobil. Perpaduan angin laut, pasir, dan geradasi biru pantai Tanjung Aan tak bisa membendung rasa syukurku bisa kembali setelah sekian lamanya tak berjumpa. Setapak demi setapak kaki ku mantap menyusuri pasir-pasir pantai berbentuk merica disertai biru air yang membentang sejauh mata memandang.
Lombok memang istimewa. Jalanannya masih sangat asri di kelilingi pohon tinggi lebat di kanan dan di kiri. Tidak ada kemacetan yang mengiringi. Begitupula dengan masyarakatnya. Mereka tidak pernah lupa akan adat istiadat, suku dan budaya. Di tengah perjalanan, aku melewati iring-iringan "merari" alias "kawin culik" atau "kawin lari". Ini adalah tradisi asal suku sasak dimana sebelum memutuskan pernikahan, wanita akan diculik pria yang menyukainya atau lari menemui pria yang disukainya. Kampungku nan jelita. Tak hanya pantainya saja yang indah, tapi elok pula kehidupan pribuminya.
Setelah berkeliling sekitar satu jam, aku melajukan mobilku menuju pantai yang sejak turun dari pesawat tadi ingin kudatangi. Kupacu mobilku ke Desa Pengembur, kecamatan Pujut, kabupaten Lombok Tengah. Setelah menempuh sekitar 30 menit waktu perjalanan, akhirnya aku sampai di pantai Tanjung Aan, pantai yang merupakan bagian dari nama panjangku, Tanjung Aan Ramadhani.
Aku langsung mencium aroma segar bercampur bau garam, bahkan saat aku baru turun dari mobil. Perpaduan angin laut, pasir, dan geradasi biru pantai Tanjung Aan tak bisa membendung rasa syukurku bisa kembali setelah sekian lamanya tak berjumpa. Setapak demi setapak kaki ku mantap menyusuri pasir-pasir pantai berbentuk merica disertai biru air yang membentang sejauh mata memandang.
Tetiba ingatanku kembali ke masa silam. Bayangan tiga orang hadir disitu. Mereka sedang berjalan bersama sambil bergandeng tangan. Ketiganya meninggalkan jejak langkah-langkah kaki di atas butiran pasir. Langkah kaki itu terdiri dari dua pasang kaki orang dewasa dan sepasang kaki anak kecil berumur 9 tahun.
"An, kalau kamu sudah besar ingin jadi apa?" tanya Ibuku.
"An, kalau kamu sudah besar ingin jadi apa?" tanya Ibuku.
"Aku ingin jadi dokter, sembuhin orang yang sakit, Inak"
"Wah, mulia sekali. Kalau putriku yang satu ini ingin menjadi dokter, maka dari sekarang harus rajin belajar, rajin mohon dan berdoa sama Allah, biar citanya terwujud"
"Tidak hanya itu, kalau mau jadi dokter juga harus jadi orang jujur" sahut Ayahku.
"Oh begitu, memangnya kenapa, Amaq?"
"Kalau orang jujur itu akan mendapat tiga hal, yaitu kepercayaan, cinta dan kehormatan"
"Ya, Amaq, benar. Kalau anak yang suka bohong juga nanti hidungnya bisa panjaaaaang...." ujar Ibu sambil mencubit hidungku.
"Aw! Sakit!"
"Nanti kayak pinokio, hidungnya panjaaaaaang....." Ayah ikut mencubit hidungku.
"Hahaha, gimana-gimana, Amaq?"
"Panjaaaaaaaaaaaaang"
"Hahahahaha...."
Ketiganya tertawa dan saling berbagi bahagia.
Air mata menetes dari peluhku. Senyum kedua orang tua yang berjalan disebelahku dulu masih tergambar jelas di dalam benak. Ku langkahkah kaki akhirnya beranjak dari pemandangan pantai yang paling terkenang dalam hidupku itu.
Sudah hampir satu setengah jam berjalan.. Aku terhenti di tempat pemakaman yang tak jauh dari bibir pantai. Aku masuk ke pemakaman berlatar belakang lautan dan mencari pusara yang paling ku rindu.
Sudah hampir satu setengah jam berjalan.. Aku terhenti di tempat pemakaman yang tak jauh dari bibir pantai. Aku masuk ke pemakaman berlatar belakang lautan dan mencari pusara yang paling ku rindu.
"Hai, Inak, Amaq, apa kabar?"
Sapaku di depan pusara Ibu dan Ayah.
Kedua orang tuaku adalah nelayan. Dua puluh tahun lalu, mereka tenggelam di laut terkena badai saat sedang mencari ikan yang tadinya akan dijual dan sebagian diolah menjadi ikan bakar kesukaanku.
"Inak, Amaq... An sekarang sudah jadi Dokter. An sudah dapat banyak cinta dari keluarga dan teman-teman, kepercayaan dari pekerjaan, dan kehormatan dimanapun An berada, berkat nasihat kalian.."
Aku meletakkan dua buket mawar putih yang sejak tadi ku genggam di atas kedua pusara Ibu dan Ayah, kemudian beranjak setelah memanjatkan doa. Hari menjelang petang, matahari yang tadi diufuk mulai menghilang seiring dengan usainya perjumpaan dengan kedua orang tua dan napak tilas tanah kelahiran.
Kampung Halaman memang selalu terkenang. Sebab, di dalamnya berisi memori indah bersama orang-orang tersayang. Setelah bertahun lamanya berjuang di tanah orang, tak sangguplah rasanya bila tak kembali. Meskipun hanya sekedar untuk mengingat petuah pembangun diri, serta mengunjungi orang-orang yang sudah tak bisa lagi saling pandang dan memandangi.
Kedua orang tuaku adalah nelayan. Dua puluh tahun lalu, mereka tenggelam di laut terkena badai saat sedang mencari ikan yang tadinya akan dijual dan sebagian diolah menjadi ikan bakar kesukaanku.
"Inak, Amaq... An sekarang sudah jadi Dokter. An sudah dapat banyak cinta dari keluarga dan teman-teman, kepercayaan dari pekerjaan, dan kehormatan dimanapun An berada, berkat nasihat kalian.."
Aku meletakkan dua buket mawar putih yang sejak tadi ku genggam di atas kedua pusara Ibu dan Ayah, kemudian beranjak setelah memanjatkan doa. Hari menjelang petang, matahari yang tadi diufuk mulai menghilang seiring dengan usainya perjumpaan dengan kedua orang tua dan napak tilas tanah kelahiran.
Kampung Halaman memang selalu terkenang. Sebab, di dalamnya berisi memori indah bersama orang-orang tersayang. Setelah bertahun lamanya berjuang di tanah orang, tak sangguplah rasanya bila tak kembali. Meskipun hanya sekedar untuk mengingat petuah pembangun diri, serta mengunjungi orang-orang yang sudah tak bisa lagi saling pandang dan memandangi.
Komentar
Posting Komentar