Pengalaman Operasi Ateroma Kista di Umur 24 Tahun
Setelah operasi pengangkatan, rasanya bahu kiri saya, yang didiagnosis oleh dokter mengalami Ateroma Kista, masih terasa nyut-nyutan, nyeri, dan berat.
Udah lama gak cerita di blog, tulisan yang agak curhat hehe. Karena hal ini bagi saya merupakan suatu pengalaman yang luar biasa hebatnya, jadi rasanya gatel banget pengen langsung berbagi.. dan siapa tau ada hikmah setelahnya yang bisa dipetik di akhir tulisan ini, bagi diri saya sendiri, dan siapapun yang membacanya. Saya akan bercerita dengan detail dan rinci tentang pengalaman ini. Jadi siap-siap yaa, karena membacanya akan menyita sedikit waktu Anda, hoho.
Udah lama gak cerita di blog, tulisan yang agak curhat hehe. Karena hal ini bagi saya merupakan suatu pengalaman yang luar biasa hebatnya, jadi rasanya gatel banget pengen langsung berbagi.. dan siapa tau ada hikmah setelahnya yang bisa dipetik di akhir tulisan ini, bagi diri saya sendiri, dan siapapun yang membacanya. Saya akan bercerita dengan detail dan rinci tentang pengalaman ini. Jadi siap-siap yaa, karena membacanya akan menyita sedikit waktu Anda, hoho.
Awal kisah ini, dimulai sekitar 3 minggu yang lalu, sewaktu saya bangun tidur dan tiba-tiba menemukan benjolan sebesar buah ceri di bahu kiri saya. Saya pikir waktu itu bukan apa-apa. Tapi ketika diingat-ingat kembali, sebetulnya di bahu kiri saya ini sering sekali terasa pegal dan sakit usai menggendong tas ransel maupun tas selempang, dan gejala itu sudah berlangsung selama kurang lebih 2 tahun. Terlebih, di sekitar benjolan di bahu kiri saya itu juga timbul bercak-bercak biru lebam. Perkiraan waktu nemuin benjolan dan lebam biru itu, yaa.. paling efek membawa beban berat di tas. Jadinya, saya coba ganti tas yang lebih enak dipakai dan dalaman baju yang agak longgar saja. Ternyata setelah seminggu berlalu, benjolan itu masih tetap ada. Bahkan, parahnya sudah menimbulkan nyeri kalau dipegang dan sakit kepala belakang. Pikiran saya langsung negatif pada saat itu. Ini tumor bukan ya? Kanker bukan ya? Amit-amit, semoga bukan. Dan pikiran ini sempat membuat saya agak stress. Karena suami saya yang memang orangnya protektif soal kesehatan, melihat kondisi demikian, ia langsung mengajak saya untuk periksa ke dokter
Akhirnya, saya bersama suami, pergi ke dokter umum di Rumah Sakit (RS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diagnosis awal dokter umum mengatakan kalau benjolan saya ini adalah Lifoma. Setelah dijelaskan dokter, inti yang saya tangkap, Lifoma itu benjolan yang berisi cairan lemak. Akan tetapi, saat itu dari raut wajah dokter umum, saya bisa melihat kalau beliau tampak ragu-ragu dengan diagnosisnya. Lalu, beliau menyarankan, agar saya dirujuk ke dokter bedah untuk mengetahui secara pasti benjolan ini benar Lifoma atau tidak, serta guna mendapat penanganan lebih lanjut. Tetapi saat itu, dokter umum seperti sudah memberikan saya "kode", kalau salah satu cara penyembuhan benjolan ini adalah harus diangkat/diambil, entah itu operasi atau tindakan langsung di ruangan dokter. Dari situ saya sudah memprediksi, kalau harus sampai operasi, berarti benjolan saya ini salah satu yang serius.
Usai mendapatkan surat rujukan, dua hari kemudian saya dan masih bersama suami yang setia mendampingi, bertemu dengan dokter bedah, masih di rumah sakit yang sama, bernama dokter Syahfreadi. Nah, ada sedikit cerita kenapa saya dan terutama suami, memilih untuk periksa ke dokter Syahfreadi, dibandingkan dokter bedah yang lain. Usut punya usut, atas dasar rekomendasi teman suami, katanya dokter Syahf, panggilan akrabnya, ini dokter bedah yang boleh dikatakan oke, lah. Benar saja, walaupun pada hari pemeriksaan dokter Syahf terlambat datang dari waktu janjian, (hehe sorry dok, memang begitu adanya :p), tapi beliau sangat rinci dan jelas dalam menggambarkan penyakit yang saya derita. Rasanya, mendengarkan penjelasan beliau seperti sedang kuliah kedokteran. Beliau juga menggunakan pengibaratan dengan bahasa dan kejadian sehari-hari, supaya kami pasien mengerti asal muasal penyakit sampai ke akar-akarnya. Cara berbicaranya pun sangat luwes dan mungkin bisa dibilang, dokter Syahf, sepertinya senang sekali mengobrol, karena ia sempat beberapa kali berbagi pengalaman pribadinya kepada saya dan suami. Gak apa-apa deh, itung-itung bisa membuat saya lebih rileks dan tidak tegang.
Pertama-tama, ketika baru saja masuk di ruangan Dokter Syahf, suami saya memberikan surat rujukan dari dokter umum, namun oleh dokter Syahf, tidak dilihat. "Saya gamau lihat surat rujukan dulu, coba kamu ceritakan, apa keluhannya?" katanya. Saya pun mulai menjelaskan dari A sampai Z, yang kemudian dibalas oleh dokter, "Oke, yuk, coba saya lihat dulu seperti apa benjolannya". Di tempat tidur pasien, dokter Syahf mulai memeriksa benjolan di bahu kiri saya ini, sembari masih mengajak saya mengobrol. Setelah itu, saya dipersilahkan duduk kembali di kursi.
"Dari hasil pemeriksaan saya barusan," lanjut dokter Syahf, "Saya mendiagnosis kalau benjolan ini adalah Ateroma Kista. Ateroma Kista itu, benjolan yang disebabkan oleh kelenjar keringat atau rambut yang tersumbat di balik permukaan kulit. Kalau lama-lama dibiarkan, si ateroma kista ini bisa pecah di dalam dan malah memberikan infeksi, sekaligus bisa menyebar ke sekitarnya. Kalau menyebar, otomatis semakin susah lagi kalau mau dibersihkan. Lalu, di sekitar benjolan itu, ada lebam biru ya? Saya prediksi juga, kalau itu adalah hemangioma, dan hemangioma itu adalah tumor-tumor di pembuluh darah. Tapi, kembali lagi, ini masih prediksi saya. Saya belum tahu pasti, sebelum benjolan itu diambil dan kita cek bersama di patologi"
"Jadi penyembuhannya harus diangkat, dok?" tanya suami.
"Betul. Tapi saya sarankan, lebih baik diangkat melalui operasi besar dan bius total. Karena, saya prediksi adanya hemangioma, apalagi sudah ada keluhan sakit kepala--yang kemungkinan hal itu bisa saja dikarenakan syaraf yang sudah terganggu berkat si ateroma ini"
"Penyembuhan lain selain operasi ada gak, dok?" tanya suami saya lagi.
"Tidak ada penyembuhan lain, selain operasi. Karena, kalau ateroma tidak diangkat dengan kantung-kantungnya, dia bisa saja tumbuh lagi di bagian tubuh lain. Tapi, kembali lagi, semua penyakit itu datangnya dari Allah. Yang harus dipikirkan sekarang, bagaimana saya sebagai "tukang", bisa mengambil tindakan awal agar genting rumah tidak bocor lagi" kata dokter Syahf, memberi pengibaratan.
Jedeerrrr!! Mendengar penjelasan dokter, perasaan saya campur aduk. Saya gak punya pengalaman sama sekali, sama yang namanya operasi ataupun bius total. Pikiran saya tak karuan kemana-mana. Takut, sedih, panik. Dokter Syahf seperti bisa membaca ketakutan saya.
"Gak usah takut denger kata tumor. Kita punya benjolan karena terjatuh pun disebutnya, kan, juga tumor. Dan ateroma kista itu salah satu tumor jinak. Jadi santai aja. Operasinya itu sama kayak mau ambil bisul. Nanti nama penyakitnya boleh dicatat, siapa tahu di rumah mau baca-baca dan cari tahu dulu. Setelah yakin operasi, nanti tinggal hubungi rumah sakit, dan kita cocokkan jadwalnya. Saya bisa kapanpun, kok. Tapi kalau bisa jangan lama-lama, ya. Ini operasi urgent, tapi masih ada waktu untuk dipikirkan"
Setelah selesai pemeriksaan, saya dan suami bergegas keluar dari ruangan dokter Syahf. Suami langsung mengajak saya makan kwetiau goreng, makanan kesukaan saya, yang terletak di samping rumah sakit. Disana, saya tidak bisa menahan tangis. Sejujurnya, ketakutan saya saat itu sudah bercabang-cabang. Saya takut banget sama bius total. Meskipun kata orang-orang, bius total malah langkah yang baik, tapi saya takut terjadi hal-hal yang diluar dugaan ketika mata saya sedang terpejam itu. Saya pun takut dengan efek samping dari bius total, bahkan pikiran saya yang saking ekstrim-nya waktu itu, saya takut kalau saat operasi, urat saya kegunting, lah, darah saya muncrat kemana-mana karena dokter salah jahit, lah, dan lain sebagainya. Kebanyakan nonton drama korea kalau kata suami!! Saya langsung istighfar, menghilangkan pikiran-pikiran negatif itu. Satu hal lain yang membuat saya kepikiran adalah biaya operasi yang lumayan mencekik. Saya agak menyayangkan, karena untuk menjalani operasi, saya dan suami terpaksa harus merogoh uang tabungan yang sudah dikumpulkan dengan tujuan membayar DP rumah. Uang tabungan itu langsung terpotong setengahnya dalam sekejap. Tetapi, suami dengan besar hatinya, tetap mencoba menenangkan dan menghibur saya.
"Gapapa sayang.. Operasinya kata dokter, kan, kayak angkat bisul aja. Semuanya terserah kamu mau operasi atau engga, apa yang menurut kamu baik, aku ikut. Dan gausah pikirin soal biaya, uang bisa dicari. Yang penting sembuh" kata suami. Kata-katanya membuat saya merasa tenang.
Lima hari sudah saya mengulur-ngulur waktu, akhirnya saya beranikan diri bilang ke suami, kalau saya siap dioperasi. Selama lima hari itu pula, saya mencari tahu tentang ateroma kista ini dari kerabat, teman, maupun cerita-cerita di internet. Sampai suatu ketika, saya menemukan cerita yang hampir mirip seperti saya kasusnya, kalau operasi ateroma kista dan bius total itu aman-aman saja. Jadi, lah, kemudian, saya mendapat jadwal operasi hari Kamis, 9 Januari 2020, pukul 4 sore.
-THE DAY-
Pihak rumah sakit memberitahukan kalau saya sudah harus puasa dari jam 10 pagi dan sampai di rumah sakit pukul 12 siang. Setibanya di rumah sakit, saya langsung masuk ke Unit Gawat Darurat (UGD) atas arahan dokter. Disana, saya ambil darah, kemudian diantar ke laboratorium untuk di ambil sampel darah telinga sebelah kiri, rontgen, dan lalu kembali lagi ke UGD sembari istirahat dan menunggu. Sekitar jam 3 sore, tangan kanan saya yang sudah terpasang infus, disuntikkan obat antibiotik, disusul setelahnya saya menjalani Elektrokardiogram (EKG) untuk mengukur dan merekam aktivitas listrik jantung. Menurut hasil tes, semuanya menunjukkan hasil normal, dan itu artinya saya memenuhi syarat untuk menjalani operasi. Oh, ya, saya dan suami pun memilih untuk perawatan "One Day Care" sesuai anjuran dokter. Jadi, setelah operasi dan saya siuman, saya bisa langsung pulang.
Jam 4 tepat, saya yang sudah duduk diatas kursi roda, diantar ke lantai 4 rumah sakit-yang merupakan ruang operasi. Saya didampingi suami dan ibu saya yang sejak pagi, tidak lelahnya memberikan dukungan kepada saya. Terakhir kali saya melihat suami saya sebelum operasi, di depan pintu, sambil mengepalkan tangan dan bilang, "Semangat!", kemudian pintu ruang operasi pun ditutup.
Saya ingat sekali, setelah ganti baju operasi, saya pindah ke kasur, dimana diatas kasur itu sudah terdapat lampu operasi, yang tampak gak asing buat saya (karena sering lihat di drama korea). Sembari menunggu dokter Syahf solat ashar, saya sempat mengobrol dengan perawat dan dokter anestesi. Mungkin ada sekitar tiga orang perawat yang menemani saya sebelum operasi dimulai, satu perawat perempuan berkerudung, satu perawat laki-laki yang agak muda, dan satu lagi perawat laki-laki mungkin setengah baya. Perawat laki-laki yang agak muda, sempat mengajak saya ngobrol dengan bertanya rumah saya dimana, saya kerja apa, dan terkejut karena saya adalah wartawan.
"Pantes nanya mulu daritadi" katanya.
"Hehehe. Ya gapapa, biar saya gak nervous"
Lalu, perawat yang setengah baya, favorit saya, gantian mengajak saya mengobrol. Dia bilang, dia orang maluku. Dan dia mendoakan saya agar secepatnya diberi momongan.
"Tenang saja, abis selesai operasi, nanti langsung dikasih momongan sama Allah" saya langsung mengamininya dengan sungguh-sungguh.
Tiba-tiba si perawat laki-laki agak muda, bertanya ke dokter anestesi. "Udah bisa dibius belum, dok?" dan dibalas dengan anggukan kecil oleh dokter. Setelah perawat menyiapkan jarum suntik, dokter anestesi pun menghampiri saya, dan berkata, "Bismillahirrohmanirohim, saya suntikan bius total ya.."
Yang saya ingat, mungkin dalam hitungan detik saja usai di suntik, saya berkata kepada dokter,
"Dok, kok kunang-kunang?"
Pandangan saya yang tertuju ke lampu operasi pun tiba-tiba gelap, dan saya tidak ingat apa-apa lagi.
.........
Saya sadar bahwa operasi sudah selesai, ketika salah satu perawat, yang berada di samping saya, berbicara pada saya.
"Eh, sudah sadar, ya? Operasinya sudah selesai, ya. Sekarang sudah di ruangan pemulihan"
Saya yang masih setengah sadar, terkejut, reflek menjawab, "Hah? Sudah selesai?"
Kata perawat, saat itu sudah pukul 6 sore. Berarti kira-kira operasi berjalan selama 2 jam. Sesaat, ketika saya masih setengah sadar itu, saya melihat bahu kiri saya sudah di perban dan sakitnya minta ampun. Saya juga merasa lemas, pusing dan sangat kedinginan. Perawat dengan sigap memberikan saya penghangat dan mematikan AC. Kemudian, perawat perempuan berkerudung pun menghampiri saya dan bertanya saya butuh apa lagi, saya yang kepo, langsung meminta untuk melihat si ateroma kista yang sudah diangkat. Karena sudah dimasukkan ke dalam formalin, bentuknya mengecil dan warnanya berubah kecokelatan seperti bakso.
"Alhamdulillah..." sebut saya dalam hati. Saya tertidur lagi.
Saya terbangun kedua kalinya, dan melihat suami sudah di samping saya, mencium kening dan mengelus kepala saya.
"Sudah selesai... Alhamdulillah"
Samar-samar, saya melihat ibu saya, ibu mertua, bapak mertua, dan kakak ipar, berganti-gantian masuk ke ruangan pemulihan, untuk mendoakan, mengelus kepala dan mencium kening saya. Hati saya sangat hangat dan merasa bersyukur sekali.
Dua jam kemudian, setelah makan dan saya merasa cukup sadar, saya bersama suami dan ibu saya, pulang ke rumah.
Sekilas tentang ateroma kista, suami saya bercerita kalau setelah diangkat, dokter Syahf sangat yakin kalau itu ateroma kista, dilihat dari bentuknya, kantungnya. Tapi, karena saya dan suami masih penasaran, si benjolan itu tetap diantar ke patologi untuk diperiksa secara pasti. Kira-kira hari Jumat ini, hasilnya keluar. Kabar baiknya lagi, ternyata kebiruan lebam, yang mengitari benjolan ateroma, ternyata bukan hemangioma. Setelah dibedah, dokter bilang kalau itu bukan apa-apa, dan mengatakan kemungkinan lebam bisa jadi karena gesekan tas saja. Alhamdulillah..
Saya menyadari, bahwa hari itu, sangat dimudahkan sama Allah. Dari mulai segala macam tes pra operasi yang hasilnya normal, saat operasi yang ternyata hanya sekejap dan lancar, hingga pasca operasi. Terlebih, ternyata, karena suami menjadi salah satu pegawai UIN, biaya rumah sakit pun mendapatkan diskon. Yaaa, Alhamdulillah, lumayan, lah.. Hehehe. Sampai hari ini, H-5 pasca operasi, luka bekas jahitan si ateroma masih diperban, saya masih rawat jalan dan saya masih harus mengunjungi dokter Syahf di ruangannya secara rutin 4 hari sekali, alias check up. Doakan saya lekas sembuh ya kawan!
Satu lagi, pelajaran yang bisa saya petik dari pengalaman awal tahun 2020 yang sangat spesial buat saya ini, bahwa ini menandakan bahwa Allah sangat sayang sama saya dan keluarga, makanya saya diberikan penyakit yang luar biasa ini. Karena biasanya, saya cuman sakit flu atau paling parah yaa maag sebab telat makan. Kenapa Allah sayang? Disamping hal ini membuat saya lebih sabar dan kuat, karena dengan penyakit ini pula, saya menjadi rajin berdoa, rajin solat tepat waktu, rajin baca Al qur'an. Yang sebelumnya males, jadi lebih sering ketemuan sama Allah dalam ibadah. Alhamdulillah.. selain itu, saya juga jadi lebih intens untuk menjaga kesehatan dan pola makan. Terakhir, hikmahnya, saya juga dimanja buaanggettt sama suami hehehe. Kelihatan banget deh sayangnya suami! Apa aja diturutin!
Buat kawan-kawan pembaca cerita ini, yang juga mengalami hal yang sama seperti saya, (juga ketakutan yang sama), insyaAllah, semuanya akan baik-baik saja. Segala penyakit dan kesembuhan itu datangnya dari Allah, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan, karena dibalik ini semua, Allah pasti sudah menyiapkan skenario terindah. Yang kuat ya!
Sekian ceritanya, semoga bermanfaat. Berikut saya pajang sedikit foto kondisi hari itu, dan merupakan foto hasil jepretan suami.
![]() |
mamah |
![]() |
waktu mau naik ke lantai 4 menuju ruang operasi |
![]() |
Ibu |
![]() |
Bapak |
![]() |
mba |
Komentar
Posting Komentar